Recent Posts

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Blogroll

Minggu, 18 November 2012

LOGO SMAN 1 CILEGON

Berikut ini adalah Logo SMAN 1 Cilegon.
Penggunaan logo untuk komersial diharapkan mengajukan izin kepada pihak sekolah terlebih dahulu.

Logo SMAN 1 Cilegon Color.tif

Minggu, 11 November 2012

Konsepsi Civil Society di Indonesia : Mendiagnosa Akar Tradisi Religio-Kultural Kebangsaan


Pendahuluan


Tumbuhnya realitas Civil Society dalam dinamika politik Indonesia secara historikal lahir sebagai gagasan yang telah ada sejak sebelum Negara ini terbentuk. Embrio civil society muncul sebagai perlawanan sosial terhadap struktur otoritarian kolonialisme Belanda. Negara Kesatuan RI lahir sebagai idealisasi pemikiran para pendirinya, sehingga ia berada pada posisi yang dominan.  Bahkan, hingga dalam pengalaman praktik demokrasi Terpimpin sejak 1959 hingga kekuasaan Orde Baru, pertumbuhan civil society mengalami marjinalisasi dan menjadi kekuatan yang minor.
 Dramatisasi demokrasi ala rejim Soekarno dan Soeharto turut mematikan peran-peran kemasyarakatan yang mandiri,  akibatnya peran negara kian masif dan  hegemonik –yang mengakar melalui kekuatan korporasi yang  dikonstruksikannya. Dalam konteks inilah, Indonesia lebih banyak pengalaman sebagai model state coorporation dan  otoritarianismenya  sejak kemerdekaan. Kini, era reformasi telah membuka peluang kembalinya ruang publik bagi penguatan civil society dan berupaya turut mengimbangi peran negara melalui liberalisasi politik dibalik reform menuju Indonesia Baru. 
Presentasi dalam diskusi ini, penulis membatasi pada kajian sekitar pertumbuhan civil society di tanah air melalui sub topik: (1) Munculnya wacana civil society kontemporer di tanah air; (2) Akar-akar civil society di Indonesia; (3) Seputar perdebatan konsepsi civil society dalam bangunan negara Indonesia Merdeka.

Wacana Civil Society di Indonesia Kontemporer

Respon civil society di Indonesia, konon terbilang baru dalam blantika diskursus politik nasional. Namun tetap menjadi tanggapan positif yang menempatkannya menjadi apresiasi yang menarik publik untuk melengkapi kebutuhan perubahan politik baru diera ke-kini-an.[1] Meskipun menggunakan pemaknaan yang berbeda dikalangan intelektual Indonesia dalam memandang civil society, namun tetap sejalan dengan semangat substansi yang ditawarkannya, yakni menguatkan peran masyarakat terhadap negara. [2]
Konon, wacana civil society di tanah air adalah upaya kalangan intelektual Indonesia yang disebarkan sebagai diskursus akademik. Berawal dari Arief Budiman bersama Sarjana Australia di Monash University dalam suatu konferensi “State and Civil Society in Contemporery Indonesia” pada  25-27 Nopember  1988, yang kemudian hasilnya dibukukan dan dipersuntimg sendiri oleh Arief Budiman dalam State and Civil Society in Indonesia yang dinilai sebagai karya pertama membahas civil society di indonesia.[3]
Sejak permulaan di atas, istilah civil society menjadi wacana akademik masyarakat Indonesia yang direspon melalui diskusi-diskusi, seminar hingga penerbitan. Mulai dari oleh LP3ES dan CESDA melalui seminar “Mencari Konsep dan Keberadaan Civil Society di Indonesia” pada 20 September 1994. Kemudian di Kupang, NTT dalam seminar “Dimensi Kepemimpinan dan Masyarakat Kewargaan: Menuju Abad XXI” pada 24-25 Januari 1995 yang menerjemahkannya menjadi “Masyarakat warga” atau “Masyarakat Kewargaan”. Dan, Istilah ini pun direspon kembali dalam Qolloqium yang mengangkat “Masyarakat Warga” oleh Lembaga Etika Atmajaya, Universitas Katolik Atmajaya pada 10 April 1997. Hingga meluas diberbagai kota, terutama oleh beberapa lembaga yang konon disuplay oleh lembaga penyandang dana internasional --salah satunya The Asia Foundation, oleh LSAF dan Lakspendam NU yang banyak menyelenggarakan sosialisasi gagasan civil society di Indonesia.[4]
Yang menarik adalah munculnya pemaknaan civil society dalam istilah  “Masyarakat Madani” yang dimunculkan oleh mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim dalam suatu Simposium Nasional dalam rangka Festval Istiqlal di Jakarta, pada 26 September 1995, yang kemudian dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid.[5] Pergulatan intelektual selanjutnya adalah karya AS Hikam dalam disertasinya “The State, Grass-roots Polititics and Civil Society: A Study of Social Movements under Indonesian New Order (1989-1994)” pada tahun 1995 pada University of Hawaii dan dalam bukunya berjudul Demokrasi dan Civil Society  yang kian menyebar luas dibaca publik dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh LP3ES. Karenanya, gagasan “Masyarakat Madani” dan “Civil Society” yang masing-masing dieksplorasikan oleh Nurcholish Madjid dan AS Hikam dinilai memiliki refleksi tinggi dalam kajian civil society di Indonesia. Tanpa bermaksud meminimalkan peran tokoh-tokoh lainnya—juga muncul sosok intelektual yang turut mengembangkan wacana civil society tersebut, selain yang telah disebut di atas –semisal Dawam Rahardjo, M. Ryaas Rasyid, Taufik Abdullah, Franz Magnis Suseno, dan lain sebagainya.

Akar-akar Civil Society di Indonesia

Nampak sulit bagi penulis dalam mengkaji literatur ilmiah mengenai asal-usul civil society di Indonesia tanpa meminjam literatur Hikam. Dalam catatannya terungkap bahwa kelembagaan civil society kelahirannya merupakan akibat dari proses transformasi modernitas yang kemudian menghasilkan struktur sosial baru yang berbeda dari tradisi masyarakat sebelumnya. Transformasi yang di‘impor’ kolonial Belanda setidaknya merubah pola ekonomi yang dipaksakan dalam bentuknya yang kapitalistik, turut mendorong laju masyarakat industrialisasi, urbanisasi, dan mengenal pendidikan modern. Dan, hal tersebut menjadi katalisator tumbuhnya institusi-institusi sosial modern di awal abad 20 sebagai persemaian civil society.[6] Hal yang sama juga diungkap Dawam Rahardjo bahwa beberapa organisasi besar yang berdiri di zaman kolonial, yang hingga kini masih tetap eksis seperti Muhammadiyah, Taman Siswa, NU. Bahkan, organisasi pergerakan nasional sejak Budi Utomo, Syarekat Dagang Islam (SDI), hingga berbagai organisasi yang lahir pada zaman Jepang merupakan organisasi civil society yang lahir sebelum negara RI terbentuk.[7]
Karenanya, Dawam berupaya mengungkap Indonesia sebenarnya memiliki tradisi civil society yang sudah berkembang sejak abad ke-20. Tentu dengan kesadaran bahwa tradisi tersebut merupakan keharusan menjadi kesadaran sejarah nasional, sebab Kehadiran negara RI adalah hasil perjuangan panjang civil society, yang konsekuensinya akan mempersepsikan negara adalah institusi yang lahir dan dibentuk oleh masyarakat.[8]
Dengan mengutip pendapat Adam B. Seligman dalam karyanya The Idea of Civil Society (1992), Dawam berpandangan bahwa sebagaimana tradisi kawasan Eropa Timur –pasca keruntuhan Sosialisme (dan juga di Timur Tengah) mengalami transformasi baru menyusun konstruksi negara baru yang melibatkan kekuatan warga sebagai entitas kolektif yang bebas dari penguasaan negara-- dan dari titik inilah bangunan civil society amat berbeda dengan tradisi yang di Eropa Barat dan Amerika Utara yang sejak awal menempatkan negara sebagai sesuatu yang sekunder, sedang masyarakat sesuatu yang primer dan otonom. Transformasi radikal di kawasan Eropa Timur  berupaya membangun kembali peran masyarakatnya terhadap pembentukkan kelembagaan negara. Konon, untuk Indonesia, dinilai Dawam, persepsi civil society lebih mirip dengan yang terjadi di Eropa Timur yang memandang negara sebagai sesuatu yang primer sedang masyarakat adalah yang sekunder. Dan, kini negara berupaya membentuk suatu masyarakat baru yang berbeda dari sebelumnya.[9] 

Perdebatan konsepsi civil society dalam bangunan negara Indonesia Merdeka: Pemusatan Negara Model Soepomo

      Sebagaimana diungkap di atas, bahwa dalam lintasan sejarahnya, Indonesia sebaga negara terbentuk didahului oleh peran organisasi civil society dalam kancah pergerakan sosial politik menghadapi kekuatan negara koloni. Meskipun pergerakan politik yang cukup mengemuka pada kala itu memperlihatkan aspirasi perjuangan melahirkan negara sendiri sebagai alternatif dari negara kolonial. Negara dipandang sebagai insitusi bagi kehidupan baru  masyarakat Indonesia. Sehingga negara dipandang sebagai institusi yang ideal.
Organisasi civil society pada masa kolonial Belanda tumbuh dari kesadaran untuk berhimpun secara sukarela (voluntary associations) dengan berbeda latar belakang coraknya, baik budaya, politik, ekonomi dan keagamaan, banyak dipelopori kaum cendikiawan. Karenanya, ketika negara berada pada proses pembentukkan – mulai dari penyusunan hingga pengisian struktur kekuasaan—banyak melibatkan kaum cendikia yang awalnya terlibat sebagai pelopor civil society. Mobilisasi vertikal menuju kekuasaan negara juga tampak pada pembentukan partai-partai pada pasca Maklumat X sebagai jalan menuju arena negara. Sehingga kelembagaan civil society—meskipun lebih dulu lahir—berada pada posisi yang sekunder, sebaliknya negara dipandang pada persoalan yang paling primer. Di sinilah letak terjadi idealisasi terhadap negara oleh elit-cendikia.
Dalam konteks di atas, oleh Dawam, dapat dilihat terdapatnya dua aliran pemikiran mengenai negara (state) dan masyarakat (society), terutama sejak awal pembahasan rancangan Dasar Negara dan Konstitusi sejak akhir Mei-Juni 1945. Pertama, kubu Soepomo dan Soekarno yang berdiri dengan paham integralistiknya.[10] Kedua, Kubu Hatta dan Yamin mengenai konsepsi Hak-hak Asasi Manusia (HAM).[11]
            Paham integralistik memandang negara sebagai kesatuan organis dari rakyat dan pemimpinnya, serta menolak paham individualisme yang merupakan bagian liberalisme secara luas. Konsepsi ini oleh Soepomo juga berasal dari konsepsi Hegel tentang peran negara sebagai peran penengah atau perantara yang memenuhi kepentingan universal dari individu-individu civil society yang lebih memenuhi keinginan sempitnya dan cenderung kepada konflik. Dalam gambaran Hegel, negara adalah perwujudan kebaikan, atau perwujudan yang ideal, dibanding civil society yang memproduksi konflik. Bahkan konsepsi integralisme yang meniscayakan agama merupakan nilai yang secara internal bagian dari negara sebagaimana konsepsi integralisme Muller. Meskipun juga secara rasio, Soepomo lebih tertarik pada nilai tradisional non mistik dalam hukum adat Indonesia lama, terutama konsepsi kesatuan manusia dan Tuhan (manunggaling kawula gusti).
            Bagaimana dengan golongan Islam? Dawam mencatat bahwa gerakan Islam pada waktu terjadinya perdebatan tentang konsep negara, tampaknya belum siap dengan gagasan ilmiah dengan dukungan teoritis. Meski ada suara-suara sumbang tentang “negara Islam”, kenyataan historisnya bahwa pemimpin Islam dalam BPUPKI akhirnya menerima konsepsi integralistik atau negara persatuan dan menerima Pancasila.[12]
            Dalam bahasan lebih lanjut, Dawan menilai, aspirasi civil society dimasa perjuangan kemerdekaan kian melemah dibandingkan menguatnya aspirasi kepada negara ideal. Namun, bukan berarti ketiadaan civil society, tetapi justru cita-cita masyarakat dikuatkan oleh organisasi Muhammadiyah dan NU yang menghendaki pembentukan “masyarakat” dan bukannya “negara”, misalnya Muhammadiyah menghendaki masyarakat unggul (khairul ummah) atau masyarakat pertengahan(ummat al wasathan). Hal yang sama juga dilakukan oleh organisasi sosial budaya seperti Taman Siswa, dan organisasi kedaerahan lainnya.[13]




[1] Setidaknya hal ini juga terungkap dalam pemaparan tokoh muda, Ahmad Baso dalam tulisannya Islam, Civil Society, Ideologi Masyarakat Madani : Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Wacana Islam Indonesia (Bandung Pustaka Hidayah dan Lakspendam-NU, 1999).
[2] Istilah civil society di Indonesia mendapat banyak respon yang interpretatif dilihat dari banyaknya pengertian civil society itu ke dalam berbagai istilah, antara lain, masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab atau berbudaya. Di antara berbagai istilah itu, istilah masyarakat madani setidaknya menempati posisi yang cukup populer.
[3] Pernyataan ini setidaknya dapat dilihat dalam karya penelitian dari Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, at. All  di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-IAIN Jakarta, yang dibukukannya dengan judul Islam & Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan PPIM IAIN Jakarta, 2002), hlm.78-79. Dalam keterangannya, Arief Budiman diundang kapasitasnya sebagai George Hick Visiting Fellow pada Centre Southeast Asian Studies, Monash Universty.
[4] Disarikan dari Hendro Prasetyo, Ali Munhanif at. All., ibid.
[5] Meskipun tegasnya istilah  “Masyarakat Madani” ini berasal dari Prof. Naquib Al-Attas dari Institute for Islamic Thought and Civilization (ISTAC), sebuah lembaga yang disponsori oleh Anwar Ibrahim sendiri.
[6] Lihat dalam M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES,1996), hlm. 3-4
[7] M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 171.
[8] Ibid.
[9] Ibid, lihat lebih detilnya pada hlm. 157-159.
[10] Meskipun oleh Dawam, patut diakui Soekarno tidak pernah membicarakan istilah paham integralistik, namun Soekarno dengan gagasan negara berdasar persatuannya sejalan dengan paham Soepomo. Lihat pada ibid, hlm. 160.
[11] Hal senada, juga menurut Dawam, meski Hatta meragukan integritas politik dan intelektual Yamin, namun keduanya turut memberikan kontribusi pentingnya negara mengadosi gagasan hak asasi sebagaimana yang ada dalam negara liberal, walaupun juga Hatta amat menolak individualisme dan liberalisme.  Ibid.
[12] Ibid, hlm. 218-219.
[13] Lihat pada ibid, hlm.163. Di sisi lain, Dawam juga menilai lemahnya civil society juga kemugkinan terjadi karena masa kemerdekaan tersebut belum terbentuknya masyarakat borjuis di perkotaan, tetapi perekonomian masih agraris dan pedesaan yang umumnya kota-kota di Jawa maupun di luar Jawa adalah agropolitan yang berbasis pertanian, belum berkembangnya masyarakat madani atau masyarakat perkotaan.

Kamis, 01 November 2012

1. DENAH RUMAH < PERSIAPAN >

Dibawah ini sebuah sketsa denah rumah yang akan kita gambar dengan AutoCAD

 

2. DENAH < MEMBUAT AS RUMAH >

Sekarang kita mulai membuat gambar garis As Rumah.

1. Aktifkan layer As Rumah

Klik gambar ini untuk liat animasi


2. Aktifkan ORTHO  

3. Klik icon Line, klik sembarang titik lalu arahkan ke arah kanan (kita gunakan ORTHO TRACKING) ketikkan angka 300 lalu enter, dan seterusnya, selengkapnya lihat pada list dibawah ini.

3. DENAH RUMAH < MEMBUAT DIMENSI >

Dimension atau ukuran adalah informasi panjang, lebar, tinggi, atau nilai sudut dari gambar yang kita buat.
1.  Matikan layer lain kecuali layer As Rumah kemudian aktifkan layer Dimensi,


2. Dari menu pilih Dimension lalu klik Style…


3. muncul jendela Dimension Style Manager, kemudian klik tombol Modify…


4. muncul jendela Modify Dimension Style: Standard


5. klik tab Text => tukar tinggi huruf menjadi 20 (Text height:) => dst tukar angka-angka lain dengan nilai 20 (lihat animasi dibawah ini) => klik tombol Ok => klik tombol Close


(pemberian semua nilai dengan angka 20 adalah sebuah penyederhanaan bagi tingkat pemula)

6.dari menu pilih Dimension => Linear => klik titik ujung ruangan => klik titik ujung lainnya => geser mouse => klik kiri.

7. dari menu pilih Dimension => Continue => klik titik lainnya => dst => akhiri dengan Enter 2x

8. lanjutkan dengan sisi lainnya

4. DENAH RUMAH < MEMBUAT TEKS >

Teks diperlukan untuk menambahkan keterangan gambar.

1. aktifkan layer TEKS


2. klik icon Multiline Text, klik di dua titik untuk buat bidang penulisan teks,


3.Kemudian pada bidang pengetikkan, tukar jenis huruf dari ‘Txt” menjadi (mis) “Verdana“, tukar ukuran font dari “0.200″ menjadi “25″, lalu ketik “Ruang Keluarga“, akhiri dengan ENTER

Rabu, 01 Februari 2012

Menjalankan Ms. Excel

Menggunakan Workbook dan Worksheet untuk Membuat Dokumen di Ms. Excel

Pada dasarnya Workbook terdiri dari satu lembar kerja atau lebih, tergantung dari setting yang kita lakukan. namun biasanya akan muncul 3 buah lembar kerja / worksheet. 

Menyimpan dan Membuka Worksheet Excel

Lembar kerja Excel yang sudah jadi perlu diamankan agar tidak hilang, yaitu dengan cara disimpan ke hardisk atau disket terlebih dahulu. Lembar kerja yang terdapat dalam sebuah workbook akan disimpan dalam file Excel, cara menyimpan workbook dengan menggunakan ikon adalah sebagai berikut.

Menambahkan Ikon atau Menu pada Quick Access Toolbar

Dalam penggunaan Excel 2007 kita membutuhkan tool-tool untuk menyelesaikan pekerjaan Excel agar akses dan eksekusi data menjadi lebih cepat. Namun, tidak jarang tool-tool yang sering dibutuhkan belum masuk ke dalam tab.

Tab Menu

Lembar kerja Microsoft Excel 2007 memiliki menu tab yang dapat digunakan untuk membantu pekerjaan Anda secara cepat. Tab-tab menu tersebut adalah Tab Home, Insert, Page Layout, Formula, Data, Review, dan View. Di setiap tab terdapat kumpulan toolbar-toolbar.

Elemen Pada Ms. Office Excell


Untuk memulai menggunakan Program pengolah Angka seperti Ms. Office Excel, hal yang perlu dilakukan adalah membuka program tersebut dengan menekan tombol Start pada desktop, lalu pilih All Program - Microsoft Office - Microsoft Office Excel atau dengan menekan tombol Window + R pada Keyboard lalu setelah kotak dialog terbuka ketikkan excel dan program akan terbuka

Minggu, 29 Januari 2012

FUNGSI DATA BASE DAN LIST MANAGEMENT (Klik Untuk Download)

Microsoft Exel memiliki kelompok fungsi data base yang sederhana khusus di gunakan pada lingkungan data base atau pengolahaan data dalam daftar.Sepintas fungsi – funsi ini mirip dengan fungsi – fungsi stasistik biasa ,namun memiliki kegunaan  yang spesifik untuk menghitung data-data yang sesuai dengan jriteria tertentu yang di berikan.Dengan demikian fungsi-fungsi ini memiliki keistimewaan untuk melakukanb “operasi bersarat”sementara fungsi statistic  melakukan operasi secara umum terhadap sauatu rage.Fungsi-fungsi ini kadang disebut sebagai “d Function”atau “FunGsi D “

FUNGSI TANGGAL DAN WAKTU

Fungsi Tanggal dan Waktu dalam microsoft office excel digunakan untuk mengkoversi serta menghitung tanggal dan waktu. beberapa fungsi yang sering digunakan antara lain:
  1. Fungsi DAYS360
  2. Fungsi NOW
  3. Fungsi TODAY
  4. Fungsi YEAR
  5. Fungsi MONTH

Contoh :
Fungsi DATE
DIGUNAKAN UNTUK MENULISKAN TANGGAL DENGAN FORMAT TAHUN, BULAN, HARI. EXCEL SEBENARNYA TELAH DILENGKAPI DENGAN BERBAGAI FORMAT TANGGAL SECARA OTOMATIS, NAMUN JIKA PEMBACAAN TANGGAL TERSEBUT MENGACU PADA SUATU NILAI ATAU SEL TERTENTU, ANDA APAT MENGGUNAKAN FUNGSI INI.
                  

BANGSA DAN NEGARA

Senin, 23 Januari 2012

nasionalism





Senin, 16 Januari 2012

SEJARAH BANTEN

Sebagai daerah sekaligus sebuah bangsa, Banten telah lama dikenal dalam peta masyarakat dunia. Berbagai sumber asing menyebutkan Banten (saat itu dikenal dengan Bantam) sebagai satu dari beberapa daerah yang menjadi rute pelayaran mereka, mulai dari sumber Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung (1430), hingga berita Tome Pires (1512). Pun dalam berbagai sumber pustaka nusantara, Banten dikenal dengan berbagai nama misalnya: Wahanten Girang dalam naskah Carita Parahiyangan (1580), Medanggili dalam Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, serta berita Cina (abad ke-13) dan lain-lain.

Berbagai sumber tersebut setidaknya mampu menggambarkan betapa Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, berinteraksi dengan dunia luar sejak awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Dan berbagai konsekuensi logisnya, Islam diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513.

Proses Islamisasi Banten, yang diawali oleh Sunan Ampel, kemudian diteruskan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang seluruh kisahnya terekam dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari. Fase sejarah penting menguatnya pengaruh Islam terjadi ketika Bupati Banten menikahkan adiknya, yang bernama Nyai Kawunganten, dengan Syarif Hidayatullah yang kemudian melahirkan dua anak yang diberi nama Ratu Wulung Ayu dan Hasanuddin sebagai cikal bakal dimulainya fase sejarah Banten sebagai Kesultanan Banten (Djajadiningrat, 1983:161). Bersama putranya inilah Sunan Gunung Jati melebarkan pengaruh dalam menyebarluaskan agama Islam ke seluruh tatar Sunda hingga saatnya Sang Wali kembali ke Cirebon.

Takluknya Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (sekarang di kenal dengan daerah Banten Girang di Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang - Wahanten Girang merupakan bagian wilayah dari Kerajaan Padjadjaran yang berpusat di Pakuan - sekarang di kenal dengan wilayah Pakuan Bogor) pada tahun 1525 selanjutnya menjadi tonggak dimulainya era Banten sebagai Kesultanan Banten dengan dipindahkannya Pusat Pemerintahan Banten dari daerah Pedalaman ke daerah Pesisir pada tanggal 1 Muharam 933 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 (Microb dan Chudari, 1993:61).

Atas pemahaman geo-politik yang mendalam Sunan Gunung Jati menentukan posisi Keraton, Benteng, Pasar, dan Alun-Alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten yang kemudian diberi nama Keraton Surosowan. Hanya dalam waktu 26 tahun, Banten menjadi semakin besar dan maju, dan pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi negara bagian Kesultanan Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai Sultan di Kesultanan Banten dengan gelar Maulanan Hasanuddin Panembahan Surosowan (Pudjiastuti, 2006:61).

Ketika sudah menjadi Pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Jawa, sejajar dengan Malaka. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk (Teluk Banten), yang lebarnya sampai tiga mil. Kota ini panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa, masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, dimana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Keraton Sultan terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat Sultan bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alaun-alun didirikan sebuah Masjid Agung (Djajadiningrat, 1983:84).

Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonomian masyarakat. Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda.

Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda (Ekadjati (ed.), 1984:97).

Wujud dari interaksi budaya dan keterbukaan masyarakat Banten tempo dulu dapat dilihat dari berkembangnya perkampungan penduduk yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara seperti Melayu, Ternate, Banjar, Banda, Bugis, Makassar, dan dari Jawa sendiri serta berbagai bangsa dari luar Nusantara seperti Pegu (Birma), Siam, Parsi, Arab, Turki, Bengali, dan Cina (Leur, 1960:133-134; Tjiptoatmodjo, 1983:64). Setidaknya inilah fakta sejarah yang turut memberikan kontribusi bagi kebesaran dan kejayaan Banten.

Dalam usahanya membangun Banten, Maulana Hasanuddin sebagai Sultan Banten pertama (1552-1570), menitikberatkan pada pengembangan sektor perdagangan dengan lada sebagai komoditas utama yang diambil dari daerah Banten sendiri serta daerah lain di wilayah kekuasaan Banten, yaitu Jayakarta, Lampung, dan terjauh yaitu dari Bengkulu (Tjandrasasmita, 1975:323).

Perluasan pengaruh juga menjadi perhatian Sultan Hasanuddin melalui pengiriman ekspedisi ke pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan lain. Sunda Kelapa sebagai salah satu pelabuhan terbesar berhasil ditaklukkan pada tahun 1527 dan takluknya Sunda Kelapa menjadi "Jayakarta" (setelah jatuh ketangan VOC-Belanda berubah menjadi Batavia kemudian berubah lagi menjadi Jakarta). Dengan takluknya Sunda Kelapa, Banten memegang peranan strategis dalam perdagangan lada yang sekaligus menggagalkan usaha Portugis di bawah pimpinan Henrique de Leme dalam usahanya menjalin kerjasama dengan Raja Sunda/Padjadjaran (Kartodirdjo, 1992:33-34). Sunda Kelapa merupakan Pelabuhan Utama Kerajaan Padjadjaran, dengan jatuhnya Sunda Kelapa ke Kesultanan Banten praktis Kerajaaan Padjadjaran kehilangan wilayah pesisir utamanya yang sebelumnya Pelabuhan Caruban oleh Kesultanan Demak dan kemudian berdirinya Kesultanan Cirebon. Sebelumnya Kerajaan Padjadjaran hendak menjalin kerjasama dengan orang-orang Portugis untuk menghadapi pengaruh Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten di wilayah pesisir utara.

Paska wafatnya Maulana Hasanuddin, pemerintahan dilanjutkan oleh Maulana Yusuf (1570-1580), putra pertamanya dari Ratu Ayu Kirana, putri Sultan Demak. Kemasyuran Banten makin meluas ketika politik ekspansinya berhasil pula menaklukkan Kerajaan Padjadjaran di Pakuan yang dibantu oleh Kesultanan Cirebon pada tahun 1579 sehingga Kerajaan Padjadjaran akhirnya benar-benar runtuh (Atja, 1986: 151-152, 189).

Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, sektor pertanian berkembang pesat dan meluas hingga melewati daerah Serang sekarang, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut dibuat terusan irigasi dan bendungan. Danau (buatan) Tasikardi merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk kota, sekaligus sebagai sumber pengairan bagi daerah pesawahan di sekitar kota. Sistem filtrasi air dengan metode pengendapan di pengindelan abang dan pengindelan putih merupakan bukti majunya teknologi air pada masa tersebut.

Pada masa Maulana Yusuf memerintah, perdagangan Banten sudah sangat maju dan Banten bisa dianggap sebagai sebuah kota pelabuhan emperium, tempat barang-barang dagangan dari berbagai penjuru dunia digudangkan dan kemudian didistribusikan (Michrob dan Chudari, 1993:82-83). Tumbuh dan berkembangnya pemukiman-pemukiman pendatang dari mancanegara terjadi pada masa ini. Kampung Pekojan umpamanya untuk para pedagang Arab, Gujarat, Mesir, dan Turki, yang terletak di sebelah barat Pasar Karangantu. Kampung Pecinan untuk para pedagang Cina, yang terletak di sebelah barat Masjid Agung Banten.

Masa kejayaan Banten selanjutnya diteruskan oleh Maulana Muhammad paska mangkatnya Maulana Yusuf pada tahun 1580. Maulana Muhammad dikenal sebagai sultan yang amat saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam ia banyak menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya. Kesejahteraan masjid dan kualitas kehidupan keberagamaan sangat mewarnai masa pemerintahannya walaupun tak berlangsung lama karena kematiannya yang tragis dalam perang di Palembang pada tahun 1596 dalam usia sangat muda, sekitar 25 tahun.

Paska mangkatnya Maulana Muhammad Banten mengalami masa deklinasi ketika konflik dan perang saudara mewarnai keluarga kesultanan khususnya selama masa perwalian Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan ketika ayahandanya wafat. Puncak perang saudara bermuara pada peristiwa Pailir, dan setelahnya Banten mulai kembali menata diri.

Dengan berakhirnya masa perwalian Sultan Muda pada bulan Januari 1624, maka Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir diangkat sebagai Sultan Banten (1596-1651). Sultan yang baru ini dikenal sebagai orang yang arif bijaksana dan banyak memperhatikan kepentingan rakyatnya. Bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat mendapat perhatian utama dari Sultan Banten ini. Ia berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara Islam. Dialah penguasa Banten pertama yang mendapat gelar Sultan dari penguasa Arab di Mekkah (1636). Sultan Abdulmufakhir bersikap tegas terhadap siapa pun yang mau memaksakan kehendaknya kepada Banten. Misalnya menolak kemauan VOC yang hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten (Ekadjati (ed.), 1984:97-98). Dan akibatnya kebijakannya ini praktis masa pemerintahannya diwarnai oleh ketegangan hingga blokade oleh VOC terhadap Banten.

Dikutip dari: Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Iman Taqwa (Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bhakti 2001-2004), diterbitkan oleh Sekretariat DPRD Provinsi Banten, 2004.