Minggu, 18 November 2012
Minggu, 11 November 2012
Konsepsi Civil Society di Indonesia : Mendiagnosa Akar Tradisi Religio-Kultural Kebangsaan
Pendahuluan
Tumbuhnya realitas Civil Society
dalam dinamika politik Indonesia secara historikal lahir sebagai gagasan yang
telah ada sejak sebelum Negara ini terbentuk. Embrio civil society
muncul sebagai perlawanan sosial terhadap struktur otoritarian kolonialisme
Belanda. Negara Kesatuan RI lahir sebagai idealisasi pemikiran para pendirinya,
sehingga ia berada pada posisi yang dominan.
Bahkan, hingga dalam pengalaman praktik demokrasi Terpimpin sejak 1959
hingga kekuasaan Orde Baru, pertumbuhan civil society mengalami
marjinalisasi dan menjadi kekuatan yang minor.
Dramatisasi demokrasi ala rejim
Soekarno dan Soeharto turut mematikan peran-peran kemasyarakatan yang
mandiri, akibatnya peran negara kian
masif dan hegemonik –yang mengakar
melalui kekuatan korporasi yang
dikonstruksikannya. Dalam konteks inilah, Indonesia lebih banyak
pengalaman sebagai model state coorporation dan otoritarianismenya sejak kemerdekaan. Kini, era reformasi telah
membuka peluang kembalinya ruang publik bagi penguatan civil society dan
berupaya turut mengimbangi peran negara melalui liberalisasi politik dibalik reform
menuju Indonesia Baru.
Presentasi dalam diskusi
ini, penulis membatasi pada kajian sekitar pertumbuhan civil society di
tanah air melalui sub topik: (1) Munculnya wacana civil society
kontemporer di tanah air; (2) Akar-akar civil society di Indonesia; (3)
Seputar perdebatan konsepsi civil society dalam bangunan negara
Indonesia Merdeka.
Wacana Civil Society di Indonesia Kontemporer
Respon civil society di
Indonesia, konon terbilang baru dalam blantika diskursus politik nasional.
Namun tetap menjadi tanggapan positif yang menempatkannya menjadi apresiasi
yang menarik publik untuk melengkapi kebutuhan perubahan politik baru diera
ke-kini-an.[1] Meskipun
menggunakan pemaknaan yang berbeda dikalangan intelektual Indonesia dalam
memandang civil society, namun tetap sejalan dengan semangat substansi
yang ditawarkannya, yakni menguatkan peran masyarakat terhadap negara. [2]
Konon, wacana civil society
di tanah air adalah upaya kalangan intelektual Indonesia yang disebarkan
sebagai diskursus akademik. Berawal dari Arief Budiman bersama Sarjana
Australia di Monash University dalam suatu konferensi “State and Civil Society
in Contemporery Indonesia” pada 25-27
Nopember 1988, yang kemudian hasilnya
dibukukan dan dipersuntimg sendiri oleh Arief Budiman dalam State and Civil
Society in Indonesia yang dinilai sebagai karya pertama membahas civil
society di indonesia.[3]
Sejak permulaan di atas,
istilah civil society menjadi wacana akademik masyarakat Indonesia yang
direspon melalui diskusi-diskusi, seminar hingga penerbitan. Mulai dari oleh
LP3ES dan CESDA melalui seminar “Mencari Konsep dan Keberadaan Civil Society di
Indonesia” pada 20 September 1994. Kemudian di Kupang, NTT dalam seminar
“Dimensi Kepemimpinan dan Masyarakat Kewargaan: Menuju Abad XXI” pada 24-25
Januari 1995 yang menerjemahkannya menjadi “Masyarakat warga” atau “Masyarakat
Kewargaan”. Dan, Istilah ini pun direspon kembali dalam Qolloqium yang
mengangkat “Masyarakat Warga” oleh Lembaga Etika Atmajaya, Universitas Katolik
Atmajaya pada 10 April 1997. Hingga meluas diberbagai kota, terutama oleh
beberapa lembaga yang konon disuplay oleh lembaga penyandang dana internasional
--salah satunya The Asia Foundation, oleh LSAF dan Lakspendam NU yang banyak
menyelenggarakan sosialisasi gagasan civil society di Indonesia.[4]
Yang menarik adalah
munculnya pemaknaan civil society dalam istilah “Masyarakat Madani” yang dimunculkan oleh
mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim dalam suatu Simposium
Nasional dalam rangka Festval Istiqlal di Jakarta, pada 26 September 1995, yang
kemudian dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid.[5]
Pergulatan intelektual selanjutnya adalah karya AS Hikam dalam disertasinya
“The State, Grass-roots Polititics and Civil Society: A Study of Social
Movements under Indonesian New Order (1989-1994)” pada tahun 1995 pada
University of Hawaii dan dalam bukunya berjudul Demokrasi dan Civil Society yang kian menyebar luas dibaca publik dalam
bentuk buku yang diterbitkan oleh LP3ES. Karenanya, gagasan “Masyarakat Madani”
dan “Civil Society” yang masing-masing dieksplorasikan oleh Nurcholish Madjid
dan AS Hikam dinilai memiliki refleksi tinggi dalam kajian civil society di
Indonesia. Tanpa bermaksud meminimalkan peran tokoh-tokoh lainnya—juga muncul
sosok intelektual yang turut mengembangkan wacana civil society
tersebut, selain yang telah disebut di atas –semisal Dawam Rahardjo, M. Ryaas
Rasyid, Taufik Abdullah, Franz Magnis Suseno, dan lain sebagainya.
Akar-akar Civil Society di Indonesia
Nampak sulit bagi penulis
dalam mengkaji literatur ilmiah mengenai asal-usul civil society di
Indonesia tanpa meminjam literatur Hikam. Dalam catatannya terungkap bahwa
kelembagaan civil society kelahirannya merupakan akibat dari proses
transformasi modernitas yang kemudian menghasilkan struktur sosial baru yang
berbeda dari tradisi masyarakat sebelumnya. Transformasi yang di‘impor’
kolonial Belanda setidaknya merubah pola ekonomi yang dipaksakan dalam
bentuknya yang kapitalistik, turut mendorong laju masyarakat industrialisasi,
urbanisasi, dan mengenal pendidikan modern. Dan, hal tersebut menjadi
katalisator tumbuhnya institusi-institusi sosial modern di awal abad 20 sebagai
persemaian civil society.[6]
Hal yang sama juga diungkap Dawam Rahardjo bahwa beberapa organisasi besar yang
berdiri di zaman kolonial, yang hingga kini masih tetap eksis seperti
Muhammadiyah, Taman Siswa, NU. Bahkan, organisasi pergerakan nasional sejak
Budi Utomo, Syarekat Dagang Islam (SDI), hingga berbagai organisasi yang lahir
pada zaman Jepang merupakan organisasi civil society yang lahir sebelum
negara RI terbentuk.[7]
Karenanya, Dawam berupaya
mengungkap Indonesia sebenarnya memiliki tradisi civil society yang
sudah berkembang sejak abad ke-20. Tentu dengan kesadaran bahwa tradisi
tersebut merupakan keharusan menjadi kesadaran sejarah nasional, sebab
Kehadiran negara RI adalah hasil perjuangan panjang civil society, yang
konsekuensinya akan mempersepsikan negara adalah institusi yang lahir dan
dibentuk oleh masyarakat.[8]
Dengan mengutip pendapat
Adam B. Seligman dalam karyanya The Idea of Civil Society (1992), Dawam
berpandangan bahwa sebagaimana tradisi kawasan Eropa Timur –pasca keruntuhan
Sosialisme (dan juga di Timur Tengah) mengalami transformasi baru menyusun
konstruksi negara baru yang melibatkan kekuatan warga sebagai entitas kolektif
yang bebas dari penguasaan negara-- dan dari titik inilah bangunan civil
society amat berbeda dengan tradisi yang di Eropa Barat dan Amerika Utara
yang sejak awal menempatkan negara sebagai sesuatu yang sekunder, sedang
masyarakat sesuatu yang primer dan otonom. Transformasi radikal di kawasan
Eropa Timur berupaya membangun kembali
peran masyarakatnya terhadap pembentukkan kelembagaan negara. Konon, untuk
Indonesia, dinilai Dawam, persepsi civil society lebih mirip dengan yang
terjadi di Eropa Timur yang memandang negara sebagai sesuatu yang primer sedang
masyarakat adalah yang sekunder. Dan, kini negara berupaya membentuk suatu
masyarakat baru yang berbeda dari sebelumnya.[9]
Perdebatan konsepsi civil society dalam bangunan negara Indonesia Merdeka: Pemusatan Negara Model Soepomo
Sebagaimana diungkap di
atas, bahwa dalam lintasan sejarahnya, Indonesia sebaga negara terbentuk
didahului oleh peran organisasi civil society dalam kancah pergerakan sosial
politik menghadapi kekuatan negara koloni. Meskipun pergerakan politik yang
cukup mengemuka pada kala itu memperlihatkan aspirasi perjuangan melahirkan
negara sendiri sebagai alternatif dari negara kolonial. Negara dipandang
sebagai insitusi bagi kehidupan baru
masyarakat Indonesia. Sehingga negara dipandang sebagai institusi yang
ideal.
Organisasi civil society
pada masa kolonial Belanda tumbuh dari kesadaran untuk berhimpun secara
sukarela (voluntary associations) dengan berbeda latar belakang
coraknya, baik budaya, politik, ekonomi dan keagamaan, banyak dipelopori kaum
cendikiawan. Karenanya, ketika negara berada pada proses pembentukkan – mulai
dari penyusunan hingga pengisian struktur kekuasaan—banyak melibatkan kaum
cendikia yang awalnya terlibat sebagai pelopor civil society. Mobilisasi
vertikal menuju kekuasaan negara juga tampak pada pembentukan partai-partai
pada pasca Maklumat X sebagai jalan menuju arena negara. Sehingga kelembagaan
civil society—meskipun lebih dulu lahir—berada pada posisi yang sekunder,
sebaliknya negara dipandang pada persoalan yang paling primer. Di sinilah letak
terjadi idealisasi terhadap negara oleh elit-cendikia.
Dalam konteks di atas, oleh
Dawam, dapat dilihat terdapatnya dua aliran pemikiran mengenai negara (state)
dan masyarakat (society), terutama sejak awal pembahasan rancangan Dasar
Negara dan Konstitusi sejak akhir Mei-Juni 1945. Pertama, kubu Soepomo
dan Soekarno yang berdiri dengan paham integralistiknya.[10]
Kedua, Kubu Hatta dan Yamin mengenai konsepsi Hak-hak Asasi Manusia
(HAM).[11]
Paham integralistik memandang negara
sebagai kesatuan organis dari rakyat dan pemimpinnya, serta menolak paham
individualisme yang merupakan bagian liberalisme secara luas. Konsepsi ini oleh
Soepomo juga berasal dari konsepsi Hegel tentang peran negara sebagai peran
penengah atau perantara yang memenuhi kepentingan universal dari
individu-individu civil society yang lebih memenuhi keinginan sempitnya
dan cenderung kepada konflik. Dalam gambaran Hegel, negara adalah perwujudan
kebaikan, atau perwujudan yang ideal, dibanding civil society yang
memproduksi konflik. Bahkan konsepsi integralisme yang meniscayakan agama
merupakan nilai yang secara internal bagian dari negara sebagaimana konsepsi
integralisme Muller. Meskipun juga secara rasio, Soepomo lebih tertarik pada
nilai tradisional non mistik dalam hukum adat Indonesia lama, terutama konsepsi
kesatuan manusia dan Tuhan (manunggaling kawula gusti).
Bagaimana dengan golongan Islam?
Dawam mencatat bahwa gerakan Islam pada waktu terjadinya perdebatan tentang
konsep negara, tampaknya belum siap dengan gagasan ilmiah dengan dukungan
teoritis. Meski ada suara-suara sumbang tentang “negara Islam”, kenyataan
historisnya bahwa pemimpin Islam dalam BPUPKI akhirnya menerima konsepsi
integralistik atau negara persatuan dan menerima Pancasila.[12]
Dalam bahasan lebih lanjut, Dawan
menilai, aspirasi civil society dimasa perjuangan kemerdekaan kian
melemah dibandingkan menguatnya aspirasi kepada negara ideal. Namun, bukan
berarti ketiadaan civil society, tetapi justru cita-cita masyarakat
dikuatkan oleh organisasi Muhammadiyah dan NU yang menghendaki pembentukan “masyarakat”
dan bukannya “negara”, misalnya Muhammadiyah menghendaki masyarakat unggul (khairul
ummah) atau masyarakat pertengahan(ummat al wasathan). Hal yang sama
juga dilakukan oleh organisasi sosial budaya seperti Taman Siswa, dan
organisasi kedaerahan lainnya.[13]
[1] Setidaknya hal ini juga terungkap dalam pemaparan tokoh muda, Ahmad
Baso dalam tulisannya Islam, Civil Society, Ideologi Masyarakat Madani :
Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Wacana Islam Indonesia (Bandung Pustaka
Hidayah dan Lakspendam-NU, 1999).
[2] Istilah civil society
di Indonesia mendapat banyak respon yang interpretatif dilihat dari
banyaknya pengertian civil society itu ke dalam berbagai istilah, antara
lain, masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat
sipil, masyarakat beradab atau berbudaya. Di antara berbagai istilah itu,
istilah masyarakat madani setidaknya menempati posisi yang cukup populer.
[3] Pernyataan ini setidaknya dapat dilihat dalam karya penelitian dari
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, at. All
di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-IAIN Jakarta, yang
dibukukannya dengan judul Islam & Civil Society, Pandangan Muslim
Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan PPIM IAIN
Jakarta, 2002), hlm.78-79. Dalam keterangannya, Arief Budiman diundang
kapasitasnya sebagai George Hick Visiting Fellow pada Centre Southeast Asian
Studies, Monash Universty.
[4] Disarikan dari Hendro Prasetyo, Ali Munhanif at. All., ibid.
[5] Meskipun tegasnya istilah
“Masyarakat Madani” ini berasal dari Prof. Naquib Al-Attas dari
Institute for Islamic Thought and Civilization (ISTAC), sebuah lembaga yang
disponsori oleh Anwar Ibrahim sendiri.
[6] Lihat dalam M.
AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES,1996), hlm. 3-4
[7] M. Dawam
Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial
(Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 171.
[8] Ibid.
[9] Ibid, lihat lebih detilnya pada hlm. 157-159.
[10] Meskipun oleh Dawam, patut diakui Soekarno tidak pernah membicarakan
istilah paham integralistik, namun Soekarno dengan gagasan negara berdasar
persatuannya sejalan dengan paham Soepomo. Lihat pada ibid, hlm. 160.
[11] Hal senada, juga menurut Dawam, meski Hatta meragukan integritas
politik dan intelektual Yamin, namun keduanya turut memberikan kontribusi
pentingnya negara mengadosi gagasan hak asasi sebagaimana yang ada dalam negara
liberal, walaupun juga Hatta amat menolak individualisme dan liberalisme. Ibid.
[12] Ibid, hlm. 218-219.
[13] Lihat pada ibid, hlm.163. Di sisi lain, Dawam juga menilai lemahnya
civil society juga kemugkinan terjadi karena masa kemerdekaan tersebut belum
terbentuknya masyarakat borjuis di perkotaan, tetapi perekonomian masih agraris
dan pedesaan yang umumnya kota-kota di Jawa maupun di luar Jawa adalah
agropolitan yang berbasis pertanian, belum berkembangnya masyarakat madani atau
masyarakat perkotaan.
Kamis, 01 November 2012
2. DENAH < MEMBUAT AS RUMAH >
Sekarang kita mulai membuat gambar garis As Rumah.
1. Aktifkan layer As Rumah
Klik gambar ini untuk liat animasi
2. Aktifkan ORTHO
3. Klik icon Line, klik sembarang titik lalu arahkan ke arah kanan (kita gunakan ORTHO TRACKING) ketikkan angka 300 lalu enter, dan seterusnya, selengkapnya lihat pada list dibawah ini.
3. DENAH RUMAH < MEMBUAT DIMENSI >
Dimension atau ukuran adalah informasi panjang, lebar, tinggi, atau nilai sudut dari gambar yang kita buat.
1. Matikan layer lain kecuali layer As Rumah kemudian aktifkan layer Dimensi,
2. Dari menu pilih Dimension lalu klik Style…
3. muncul jendela Dimension Style Manager, kemudian klik tombol Modify…
4. muncul jendela Modify Dimension Style: Standard
5. klik tab Text => tukar tinggi huruf menjadi 20 (Text height:) => dst tukar angka-angka lain dengan nilai 20 (lihat animasi dibawah ini) => klik tombol Ok => klik tombol Close
(pemberian semua nilai dengan angka 20 adalah sebuah penyederhanaan bagi tingkat pemula)
6.dari menu pilih Dimension => Linear => klik titik ujung ruangan => klik titik ujung lainnya => geser mouse => klik kiri.
7. dari menu pilih Dimension => Continue => klik titik lainnya => dst => akhiri dengan Enter 2x
8. lanjutkan dengan sisi lainnya
4. DENAH RUMAH < MEMBUAT TEKS >
Teks diperlukan untuk menambahkan keterangan gambar.
1. aktifkan layer TEKS
2. klik icon Multiline Text, klik di dua titik untuk buat bidang penulisan teks,
3.Kemudian pada bidang pengetikkan, tukar jenis huruf dari ‘Txt” menjadi (mis) “Verdana“, tukar ukuran font dari “0.200″ menjadi “25″, lalu ketik “Ruang Keluarga“, akhiri dengan ENTER
Rabu, 01 Februari 2012
Menggunakan Workbook dan Worksheet untuk Membuat Dokumen di Ms. Excel
Pada dasarnya Workbook terdiri dari satu lembar kerja atau lebih, tergantung dari setting yang kita lakukan. namun biasanya akan muncul 3 buah lembar kerja / worksheet.
Menyimpan dan Membuka Worksheet Excel
Lembar kerja Excel yang sudah jadi perlu diamankan agar tidak hilang, yaitu dengan cara disimpan ke hardisk atau disket terlebih dahulu. Lembar kerja yang terdapat dalam sebuah workbook akan disimpan dalam file Excel, cara menyimpan workbook dengan menggunakan ikon adalah sebagai berikut.
Menambahkan Ikon atau Menu pada Quick Access Toolbar
Dalam penggunaan Excel 2007 kita membutuhkan tool-tool untuk menyelesaikan pekerjaan Excel agar akses dan eksekusi data menjadi lebih cepat. Namun, tidak jarang tool-tool yang sering dibutuhkan belum masuk ke dalam tab.
Tab Menu
Lembar kerja Microsoft Excel 2007 memiliki menu tab yang dapat digunakan untuk membantu pekerjaan Anda secara cepat. Tab-tab menu tersebut adalah Tab Home, Insert, Page Layout, Formula, Data, Review, dan View. Di setiap tab terdapat kumpulan toolbar-toolbar.
Elemen Pada Ms. Office Excell
Untuk memulai menggunakan Program pengolah Angka seperti Ms. Office Excel, hal yang perlu dilakukan adalah membuka program tersebut dengan menekan tombol Start pada desktop, lalu pilih All Program - Microsoft Office - Microsoft Office Excel atau dengan menekan tombol Window + R pada Keyboard lalu setelah kotak dialog terbuka ketikkan excel dan program akan terbuka
Minggu, 29 Januari 2012
FUNGSI DATA BASE DAN LIST MANAGEMENT (Klik Untuk Download)
Microsoft Exel memiliki kelompok fungsi data base yang sederhana khusus di gunakan pada lingkungan data base atau pengolahaan data dalam daftar.Sepintas fungsi – funsi ini mirip dengan fungsi – fungsi stasistik biasa ,namun memiliki kegunaan yang spesifik untuk menghitung data-data yang sesuai dengan jriteria tertentu yang di berikan.Dengan demikian fungsi-fungsi ini memiliki keistimewaan untuk melakukanb “operasi bersarat”sementara fungsi statistic melakukan operasi secara umum terhadap sauatu rage.Fungsi-fungsi ini kadang disebut sebagai “d Function”atau “FunGsi D “
FUNGSI TANGGAL DAN WAKTU
Fungsi Tanggal dan Waktu dalam microsoft office excel digunakan untuk mengkoversi serta menghitung tanggal dan waktu. beberapa fungsi yang sering digunakan antara lain:
- Fungsi DAYS360
- Fungsi NOW
- Fungsi TODAY
- Fungsi YEAR
- Fungsi MONTH
Contoh :
Fungsi DATE
DIGUNAKAN UNTUK MENULISKAN TANGGAL DENGAN FORMAT TAHUN, BULAN, HARI. EXCEL SEBENARNYA TELAH DILENGKAPI DENGAN BERBAGAI FORMAT TANGGAL SECARA OTOMATIS, NAMUN JIKA PEMBACAAN TANGGAL TERSEBUT MENGACU PADA SUATU NILAI ATAU SEL TERTENTU, ANDA APAT MENGGUNAKAN FUNGSI INI.
Senin, 23 Januari 2012
Senin, 16 Januari 2012
SEJARAH BANTEN
Sebagai daerah sekaligus sebuah bangsa, Banten telah lama dikenal dalam peta masyarakat dunia. Berbagai sumber asing menyebutkan Banten (saat itu dikenal dengan Bantam) sebagai satu dari beberapa daerah yang menjadi rute pelayaran mereka, mulai dari sumber Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung (1430), hingga berita Tome Pires (1512). Pun dalam berbagai sumber pustaka nusantara, Banten dikenal dengan berbagai nama misalnya: Wahanten Girang dalam naskah Carita Parahiyangan (1580), Medanggili dalam Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, serta berita Cina (abad ke-13) dan lain-lain.
Berbagai sumber tersebut setidaknya mampu menggambarkan betapa Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, berinteraksi dengan dunia luar sejak awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Dan berbagai konsekuensi logisnya, Islam diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513.
Proses Islamisasi Banten, yang diawali oleh Sunan Ampel, kemudian diteruskan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang seluruh kisahnya terekam dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari. Fase sejarah penting menguatnya pengaruh Islam terjadi ketika Bupati Banten menikahkan adiknya, yang bernama Nyai Kawunganten, dengan Syarif Hidayatullah yang kemudian melahirkan dua anak yang diberi nama Ratu Wulung Ayu dan Hasanuddin sebagai cikal bakal dimulainya fase sejarah Banten sebagai Kesultanan Banten (Djajadiningrat, 1983:161). Bersama putranya inilah Sunan Gunung Jati melebarkan pengaruh dalam menyebarluaskan agama Islam ke seluruh tatar Sunda hingga saatnya Sang Wali kembali ke Cirebon.
Takluknya Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (sekarang di kenal dengan daerah Banten Girang di Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang - Wahanten Girang merupakan bagian wilayah dari Kerajaan Padjadjaran yang berpusat di Pakuan - sekarang di kenal dengan wilayah Pakuan Bogor) pada tahun 1525 selanjutnya menjadi tonggak dimulainya era Banten sebagai Kesultanan Banten dengan dipindahkannya Pusat Pemerintahan Banten dari daerah Pedalaman ke daerah Pesisir pada tanggal 1 Muharam 933 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 (Microb dan Chudari, 1993:61).
Atas pemahaman geo-politik yang mendalam Sunan Gunung Jati menentukan posisi Keraton, Benteng, Pasar, dan Alun-Alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten yang kemudian diberi nama Keraton Surosowan. Hanya dalam waktu 26 tahun, Banten menjadi semakin besar dan maju, dan pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi negara bagian Kesultanan Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai Sultan di Kesultanan Banten dengan gelar Maulanan Hasanuddin Panembahan Surosowan (Pudjiastuti, 2006:61).
Ketika sudah menjadi Pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Jawa, sejajar dengan Malaka. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk (Teluk Banten), yang lebarnya sampai tiga mil. Kota ini panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa, masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, dimana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Keraton Sultan terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat Sultan bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alaun-alun didirikan sebuah Masjid Agung (Djajadiningrat, 1983:84).
Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonomian masyarakat. Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda.
Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda (Ekadjati (ed.), 1984:97).
Wujud dari interaksi budaya dan keterbukaan masyarakat Banten tempo dulu dapat dilihat dari berkembangnya perkampungan penduduk yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara seperti Melayu, Ternate, Banjar, Banda, Bugis, Makassar, dan dari Jawa sendiri serta berbagai bangsa dari luar Nusantara seperti Pegu (Birma), Siam, Parsi, Arab, Turki, Bengali, dan Cina (Leur, 1960:133-134; Tjiptoatmodjo, 1983:64). Setidaknya inilah fakta sejarah yang turut memberikan kontribusi bagi kebesaran dan kejayaan Banten.
Dalam usahanya membangun Banten, Maulana Hasanuddin sebagai Sultan Banten pertama (1552-1570), menitikberatkan pada pengembangan sektor perdagangan dengan lada sebagai komoditas utama yang diambil dari daerah Banten sendiri serta daerah lain di wilayah kekuasaan Banten, yaitu Jayakarta, Lampung, dan terjauh yaitu dari Bengkulu (Tjandrasasmita, 1975:323).
Perluasan pengaruh juga menjadi perhatian Sultan Hasanuddin melalui pengiriman ekspedisi ke pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan lain. Sunda Kelapa sebagai salah satu pelabuhan terbesar berhasil ditaklukkan pada tahun 1527 dan takluknya Sunda Kelapa menjadi "Jayakarta" (setelah jatuh ketangan VOC-Belanda berubah menjadi Batavia kemudian berubah lagi menjadi Jakarta). Dengan takluknya Sunda Kelapa, Banten memegang peranan strategis dalam perdagangan lada yang sekaligus menggagalkan usaha Portugis di bawah pimpinan Henrique de Leme dalam usahanya menjalin kerjasama dengan Raja Sunda/Padjadjaran (Kartodirdjo, 1992:33-34). Sunda Kelapa merupakan Pelabuhan Utama Kerajaan Padjadjaran, dengan jatuhnya Sunda Kelapa ke Kesultanan Banten praktis Kerajaaan Padjadjaran kehilangan wilayah pesisir utamanya yang sebelumnya Pelabuhan Caruban oleh Kesultanan Demak dan kemudian berdirinya Kesultanan Cirebon. Sebelumnya Kerajaan Padjadjaran hendak menjalin kerjasama dengan orang-orang Portugis untuk menghadapi pengaruh Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten di wilayah pesisir utara.
Paska wafatnya Maulana Hasanuddin, pemerintahan dilanjutkan oleh Maulana Yusuf (1570-1580), putra pertamanya dari Ratu Ayu Kirana, putri Sultan Demak. Kemasyuran Banten makin meluas ketika politik ekspansinya berhasil pula menaklukkan Kerajaan Padjadjaran di Pakuan yang dibantu oleh Kesultanan Cirebon pada tahun 1579 sehingga Kerajaan Padjadjaran akhirnya benar-benar runtuh (Atja, 1986: 151-152, 189).
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, sektor pertanian berkembang pesat dan meluas hingga melewati daerah Serang sekarang, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut dibuat terusan irigasi dan bendungan. Danau (buatan) Tasikardi merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk kota, sekaligus sebagai sumber pengairan bagi daerah pesawahan di sekitar kota. Sistem filtrasi air dengan metode pengendapan di pengindelan abang dan pengindelan putih merupakan bukti majunya teknologi air pada masa tersebut.
Pada masa Maulana Yusuf memerintah, perdagangan Banten sudah sangat maju dan Banten bisa dianggap sebagai sebuah kota pelabuhan emperium, tempat barang-barang dagangan dari berbagai penjuru dunia digudangkan dan kemudian didistribusikan (Michrob dan Chudari, 1993:82-83). Tumbuh dan berkembangnya pemukiman-pemukiman pendatang dari mancanegara terjadi pada masa ini. Kampung Pekojan umpamanya untuk para pedagang Arab, Gujarat, Mesir, dan Turki, yang terletak di sebelah barat Pasar Karangantu. Kampung Pecinan untuk para pedagang Cina, yang terletak di sebelah barat Masjid Agung Banten.
Masa kejayaan Banten selanjutnya diteruskan oleh Maulana Muhammad paska mangkatnya Maulana Yusuf pada tahun 1580. Maulana Muhammad dikenal sebagai sultan yang amat saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam ia banyak menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya. Kesejahteraan masjid dan kualitas kehidupan keberagamaan sangat mewarnai masa pemerintahannya walaupun tak berlangsung lama karena kematiannya yang tragis dalam perang di Palembang pada tahun 1596 dalam usia sangat muda, sekitar 25 tahun.
Paska mangkatnya Maulana Muhammad Banten mengalami masa deklinasi ketika konflik dan perang saudara mewarnai keluarga kesultanan khususnya selama masa perwalian Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan ketika ayahandanya wafat. Puncak perang saudara bermuara pada peristiwa Pailir, dan setelahnya Banten mulai kembali menata diri.
Dengan berakhirnya masa perwalian Sultan Muda pada bulan Januari 1624, maka Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir diangkat sebagai Sultan Banten (1596-1651). Sultan yang baru ini dikenal sebagai orang yang arif bijaksana dan banyak memperhatikan kepentingan rakyatnya. Bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat mendapat perhatian utama dari Sultan Banten ini. Ia berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara Islam. Dialah penguasa Banten pertama yang mendapat gelar Sultan dari penguasa Arab di Mekkah (1636). Sultan Abdulmufakhir bersikap tegas terhadap siapa pun yang mau memaksakan kehendaknya kepada Banten. Misalnya menolak kemauan VOC yang hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten (Ekadjati (ed.), 1984:97-98). Dan akibatnya kebijakannya ini praktis masa pemerintahannya diwarnai oleh ketegangan hingga blokade oleh VOC terhadap Banten.
Dikutip dari: Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Iman Taqwa (Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bhakti 2001-2004), diterbitkan oleh Sekretariat DPRD Provinsi Banten, 2004.
Dikutip dari: Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Iman Taqwa (Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bhakti 2001-2004), diterbitkan oleh Sekretariat DPRD Provinsi Banten, 2004.