Recent Posts

Blogroll

Minggu, 11 November 2012

Konsepsi Civil Society di Indonesia : Mendiagnosa Akar Tradisi Religio-Kultural Kebangsaan


Pendahuluan


Tumbuhnya realitas Civil Society dalam dinamika politik Indonesia secara historikal lahir sebagai gagasan yang telah ada sejak sebelum Negara ini terbentuk. Embrio civil society muncul sebagai perlawanan sosial terhadap struktur otoritarian kolonialisme Belanda. Negara Kesatuan RI lahir sebagai idealisasi pemikiran para pendirinya, sehingga ia berada pada posisi yang dominan.  Bahkan, hingga dalam pengalaman praktik demokrasi Terpimpin sejak 1959 hingga kekuasaan Orde Baru, pertumbuhan civil society mengalami marjinalisasi dan menjadi kekuatan yang minor.
 Dramatisasi demokrasi ala rejim Soekarno dan Soeharto turut mematikan peran-peran kemasyarakatan yang mandiri,  akibatnya peran negara kian masif dan  hegemonik –yang mengakar melalui kekuatan korporasi yang  dikonstruksikannya. Dalam konteks inilah, Indonesia lebih banyak pengalaman sebagai model state coorporation dan  otoritarianismenya  sejak kemerdekaan. Kini, era reformasi telah membuka peluang kembalinya ruang publik bagi penguatan civil society dan berupaya turut mengimbangi peran negara melalui liberalisasi politik dibalik reform menuju Indonesia Baru. 
Presentasi dalam diskusi ini, penulis membatasi pada kajian sekitar pertumbuhan civil society di tanah air melalui sub topik: (1) Munculnya wacana civil society kontemporer di tanah air; (2) Akar-akar civil society di Indonesia; (3) Seputar perdebatan konsepsi civil society dalam bangunan negara Indonesia Merdeka.

Wacana Civil Society di Indonesia Kontemporer

Respon civil society di Indonesia, konon terbilang baru dalam blantika diskursus politik nasional. Namun tetap menjadi tanggapan positif yang menempatkannya menjadi apresiasi yang menarik publik untuk melengkapi kebutuhan perubahan politik baru diera ke-kini-an.[1] Meskipun menggunakan pemaknaan yang berbeda dikalangan intelektual Indonesia dalam memandang civil society, namun tetap sejalan dengan semangat substansi yang ditawarkannya, yakni menguatkan peran masyarakat terhadap negara. [2]
Konon, wacana civil society di tanah air adalah upaya kalangan intelektual Indonesia yang disebarkan sebagai diskursus akademik. Berawal dari Arief Budiman bersama Sarjana Australia di Monash University dalam suatu konferensi “State and Civil Society in Contemporery Indonesia” pada  25-27 Nopember  1988, yang kemudian hasilnya dibukukan dan dipersuntimg sendiri oleh Arief Budiman dalam State and Civil Society in Indonesia yang dinilai sebagai karya pertama membahas civil society di indonesia.[3]
Sejak permulaan di atas, istilah civil society menjadi wacana akademik masyarakat Indonesia yang direspon melalui diskusi-diskusi, seminar hingga penerbitan. Mulai dari oleh LP3ES dan CESDA melalui seminar “Mencari Konsep dan Keberadaan Civil Society di Indonesia” pada 20 September 1994. Kemudian di Kupang, NTT dalam seminar “Dimensi Kepemimpinan dan Masyarakat Kewargaan: Menuju Abad XXI” pada 24-25 Januari 1995 yang menerjemahkannya menjadi “Masyarakat warga” atau “Masyarakat Kewargaan”. Dan, Istilah ini pun direspon kembali dalam Qolloqium yang mengangkat “Masyarakat Warga” oleh Lembaga Etika Atmajaya, Universitas Katolik Atmajaya pada 10 April 1997. Hingga meluas diberbagai kota, terutama oleh beberapa lembaga yang konon disuplay oleh lembaga penyandang dana internasional --salah satunya The Asia Foundation, oleh LSAF dan Lakspendam NU yang banyak menyelenggarakan sosialisasi gagasan civil society di Indonesia.[4]
Yang menarik adalah munculnya pemaknaan civil society dalam istilah  “Masyarakat Madani” yang dimunculkan oleh mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim dalam suatu Simposium Nasional dalam rangka Festval Istiqlal di Jakarta, pada 26 September 1995, yang kemudian dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid.[5] Pergulatan intelektual selanjutnya adalah karya AS Hikam dalam disertasinya “The State, Grass-roots Polititics and Civil Society: A Study of Social Movements under Indonesian New Order (1989-1994)” pada tahun 1995 pada University of Hawaii dan dalam bukunya berjudul Demokrasi dan Civil Society  yang kian menyebar luas dibaca publik dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh LP3ES. Karenanya, gagasan “Masyarakat Madani” dan “Civil Society” yang masing-masing dieksplorasikan oleh Nurcholish Madjid dan AS Hikam dinilai memiliki refleksi tinggi dalam kajian civil society di Indonesia. Tanpa bermaksud meminimalkan peran tokoh-tokoh lainnya—juga muncul sosok intelektual yang turut mengembangkan wacana civil society tersebut, selain yang telah disebut di atas –semisal Dawam Rahardjo, M. Ryaas Rasyid, Taufik Abdullah, Franz Magnis Suseno, dan lain sebagainya.

Akar-akar Civil Society di Indonesia

Nampak sulit bagi penulis dalam mengkaji literatur ilmiah mengenai asal-usul civil society di Indonesia tanpa meminjam literatur Hikam. Dalam catatannya terungkap bahwa kelembagaan civil society kelahirannya merupakan akibat dari proses transformasi modernitas yang kemudian menghasilkan struktur sosial baru yang berbeda dari tradisi masyarakat sebelumnya. Transformasi yang di‘impor’ kolonial Belanda setidaknya merubah pola ekonomi yang dipaksakan dalam bentuknya yang kapitalistik, turut mendorong laju masyarakat industrialisasi, urbanisasi, dan mengenal pendidikan modern. Dan, hal tersebut menjadi katalisator tumbuhnya institusi-institusi sosial modern di awal abad 20 sebagai persemaian civil society.[6] Hal yang sama juga diungkap Dawam Rahardjo bahwa beberapa organisasi besar yang berdiri di zaman kolonial, yang hingga kini masih tetap eksis seperti Muhammadiyah, Taman Siswa, NU. Bahkan, organisasi pergerakan nasional sejak Budi Utomo, Syarekat Dagang Islam (SDI), hingga berbagai organisasi yang lahir pada zaman Jepang merupakan organisasi civil society yang lahir sebelum negara RI terbentuk.[7]
Karenanya, Dawam berupaya mengungkap Indonesia sebenarnya memiliki tradisi civil society yang sudah berkembang sejak abad ke-20. Tentu dengan kesadaran bahwa tradisi tersebut merupakan keharusan menjadi kesadaran sejarah nasional, sebab Kehadiran negara RI adalah hasil perjuangan panjang civil society, yang konsekuensinya akan mempersepsikan negara adalah institusi yang lahir dan dibentuk oleh masyarakat.[8]
Dengan mengutip pendapat Adam B. Seligman dalam karyanya The Idea of Civil Society (1992), Dawam berpandangan bahwa sebagaimana tradisi kawasan Eropa Timur –pasca keruntuhan Sosialisme (dan juga di Timur Tengah) mengalami transformasi baru menyusun konstruksi negara baru yang melibatkan kekuatan warga sebagai entitas kolektif yang bebas dari penguasaan negara-- dan dari titik inilah bangunan civil society amat berbeda dengan tradisi yang di Eropa Barat dan Amerika Utara yang sejak awal menempatkan negara sebagai sesuatu yang sekunder, sedang masyarakat sesuatu yang primer dan otonom. Transformasi radikal di kawasan Eropa Timur  berupaya membangun kembali peran masyarakatnya terhadap pembentukkan kelembagaan negara. Konon, untuk Indonesia, dinilai Dawam, persepsi civil society lebih mirip dengan yang terjadi di Eropa Timur yang memandang negara sebagai sesuatu yang primer sedang masyarakat adalah yang sekunder. Dan, kini negara berupaya membentuk suatu masyarakat baru yang berbeda dari sebelumnya.[9] 

Perdebatan konsepsi civil society dalam bangunan negara Indonesia Merdeka: Pemusatan Negara Model Soepomo

      Sebagaimana diungkap di atas, bahwa dalam lintasan sejarahnya, Indonesia sebaga negara terbentuk didahului oleh peran organisasi civil society dalam kancah pergerakan sosial politik menghadapi kekuatan negara koloni. Meskipun pergerakan politik yang cukup mengemuka pada kala itu memperlihatkan aspirasi perjuangan melahirkan negara sendiri sebagai alternatif dari negara kolonial. Negara dipandang sebagai insitusi bagi kehidupan baru  masyarakat Indonesia. Sehingga negara dipandang sebagai institusi yang ideal.
Organisasi civil society pada masa kolonial Belanda tumbuh dari kesadaran untuk berhimpun secara sukarela (voluntary associations) dengan berbeda latar belakang coraknya, baik budaya, politik, ekonomi dan keagamaan, banyak dipelopori kaum cendikiawan. Karenanya, ketika negara berada pada proses pembentukkan – mulai dari penyusunan hingga pengisian struktur kekuasaan—banyak melibatkan kaum cendikia yang awalnya terlibat sebagai pelopor civil society. Mobilisasi vertikal menuju kekuasaan negara juga tampak pada pembentukan partai-partai pada pasca Maklumat X sebagai jalan menuju arena negara. Sehingga kelembagaan civil society—meskipun lebih dulu lahir—berada pada posisi yang sekunder, sebaliknya negara dipandang pada persoalan yang paling primer. Di sinilah letak terjadi idealisasi terhadap negara oleh elit-cendikia.
Dalam konteks di atas, oleh Dawam, dapat dilihat terdapatnya dua aliran pemikiran mengenai negara (state) dan masyarakat (society), terutama sejak awal pembahasan rancangan Dasar Negara dan Konstitusi sejak akhir Mei-Juni 1945. Pertama, kubu Soepomo dan Soekarno yang berdiri dengan paham integralistiknya.[10] Kedua, Kubu Hatta dan Yamin mengenai konsepsi Hak-hak Asasi Manusia (HAM).[11]
            Paham integralistik memandang negara sebagai kesatuan organis dari rakyat dan pemimpinnya, serta menolak paham individualisme yang merupakan bagian liberalisme secara luas. Konsepsi ini oleh Soepomo juga berasal dari konsepsi Hegel tentang peran negara sebagai peran penengah atau perantara yang memenuhi kepentingan universal dari individu-individu civil society yang lebih memenuhi keinginan sempitnya dan cenderung kepada konflik. Dalam gambaran Hegel, negara adalah perwujudan kebaikan, atau perwujudan yang ideal, dibanding civil society yang memproduksi konflik. Bahkan konsepsi integralisme yang meniscayakan agama merupakan nilai yang secara internal bagian dari negara sebagaimana konsepsi integralisme Muller. Meskipun juga secara rasio, Soepomo lebih tertarik pada nilai tradisional non mistik dalam hukum adat Indonesia lama, terutama konsepsi kesatuan manusia dan Tuhan (manunggaling kawula gusti).
            Bagaimana dengan golongan Islam? Dawam mencatat bahwa gerakan Islam pada waktu terjadinya perdebatan tentang konsep negara, tampaknya belum siap dengan gagasan ilmiah dengan dukungan teoritis. Meski ada suara-suara sumbang tentang “negara Islam”, kenyataan historisnya bahwa pemimpin Islam dalam BPUPKI akhirnya menerima konsepsi integralistik atau negara persatuan dan menerima Pancasila.[12]
            Dalam bahasan lebih lanjut, Dawan menilai, aspirasi civil society dimasa perjuangan kemerdekaan kian melemah dibandingkan menguatnya aspirasi kepada negara ideal. Namun, bukan berarti ketiadaan civil society, tetapi justru cita-cita masyarakat dikuatkan oleh organisasi Muhammadiyah dan NU yang menghendaki pembentukan “masyarakat” dan bukannya “negara”, misalnya Muhammadiyah menghendaki masyarakat unggul (khairul ummah) atau masyarakat pertengahan(ummat al wasathan). Hal yang sama juga dilakukan oleh organisasi sosial budaya seperti Taman Siswa, dan organisasi kedaerahan lainnya.[13]




[1] Setidaknya hal ini juga terungkap dalam pemaparan tokoh muda, Ahmad Baso dalam tulisannya Islam, Civil Society, Ideologi Masyarakat Madani : Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Wacana Islam Indonesia (Bandung Pustaka Hidayah dan Lakspendam-NU, 1999).
[2] Istilah civil society di Indonesia mendapat banyak respon yang interpretatif dilihat dari banyaknya pengertian civil society itu ke dalam berbagai istilah, antara lain, masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab atau berbudaya. Di antara berbagai istilah itu, istilah masyarakat madani setidaknya menempati posisi yang cukup populer.
[3] Pernyataan ini setidaknya dapat dilihat dalam karya penelitian dari Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, at. All  di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-IAIN Jakarta, yang dibukukannya dengan judul Islam & Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan PPIM IAIN Jakarta, 2002), hlm.78-79. Dalam keterangannya, Arief Budiman diundang kapasitasnya sebagai George Hick Visiting Fellow pada Centre Southeast Asian Studies, Monash Universty.
[4] Disarikan dari Hendro Prasetyo, Ali Munhanif at. All., ibid.
[5] Meskipun tegasnya istilah  “Masyarakat Madani” ini berasal dari Prof. Naquib Al-Attas dari Institute for Islamic Thought and Civilization (ISTAC), sebuah lembaga yang disponsori oleh Anwar Ibrahim sendiri.
[6] Lihat dalam M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES,1996), hlm. 3-4
[7] M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 171.
[8] Ibid.
[9] Ibid, lihat lebih detilnya pada hlm. 157-159.
[10] Meskipun oleh Dawam, patut diakui Soekarno tidak pernah membicarakan istilah paham integralistik, namun Soekarno dengan gagasan negara berdasar persatuannya sejalan dengan paham Soepomo. Lihat pada ibid, hlm. 160.
[11] Hal senada, juga menurut Dawam, meski Hatta meragukan integritas politik dan intelektual Yamin, namun keduanya turut memberikan kontribusi pentingnya negara mengadosi gagasan hak asasi sebagaimana yang ada dalam negara liberal, walaupun juga Hatta amat menolak individualisme dan liberalisme.  Ibid.
[12] Ibid, hlm. 218-219.
[13] Lihat pada ibid, hlm.163. Di sisi lain, Dawam juga menilai lemahnya civil society juga kemugkinan terjadi karena masa kemerdekaan tersebut belum terbentuknya masyarakat borjuis di perkotaan, tetapi perekonomian masih agraris dan pedesaan yang umumnya kota-kota di Jawa maupun di luar Jawa adalah agropolitan yang berbasis pertanian, belum berkembangnya masyarakat madani atau masyarakat perkotaan.

0 komentar:

Posting Komentar