Minggu, 18 November 2012
Minggu, 11 November 2012
Konsepsi Civil Society di Indonesia : Mendiagnosa Akar Tradisi Religio-Kultural Kebangsaan
Pendahuluan
Tumbuhnya realitas Civil Society
dalam dinamika politik Indonesia secara historikal lahir sebagai gagasan yang
telah ada sejak sebelum Negara ini terbentuk. Embrio civil society
muncul sebagai perlawanan sosial terhadap struktur otoritarian kolonialisme
Belanda. Negara Kesatuan RI lahir sebagai idealisasi pemikiran para pendirinya,
sehingga ia berada pada posisi yang dominan.
Bahkan, hingga dalam pengalaman praktik demokrasi Terpimpin sejak 1959
hingga kekuasaan Orde Baru, pertumbuhan civil society mengalami
marjinalisasi dan menjadi kekuatan yang minor.
Dramatisasi demokrasi ala rejim
Soekarno dan Soeharto turut mematikan peran-peran kemasyarakatan yang
mandiri, akibatnya peran negara kian
masif dan hegemonik –yang mengakar
melalui kekuatan korporasi yang
dikonstruksikannya. Dalam konteks inilah, Indonesia lebih banyak
pengalaman sebagai model state coorporation dan otoritarianismenya sejak kemerdekaan. Kini, era reformasi telah
membuka peluang kembalinya ruang publik bagi penguatan civil society dan
berupaya turut mengimbangi peran negara melalui liberalisasi politik dibalik reform
menuju Indonesia Baru.
Presentasi dalam diskusi
ini, penulis membatasi pada kajian sekitar pertumbuhan civil society di
tanah air melalui sub topik: (1) Munculnya wacana civil society
kontemporer di tanah air; (2) Akar-akar civil society di Indonesia; (3)
Seputar perdebatan konsepsi civil society dalam bangunan negara
Indonesia Merdeka.
Wacana Civil Society di Indonesia Kontemporer
Respon civil society di
Indonesia, konon terbilang baru dalam blantika diskursus politik nasional.
Namun tetap menjadi tanggapan positif yang menempatkannya menjadi apresiasi
yang menarik publik untuk melengkapi kebutuhan perubahan politik baru diera
ke-kini-an.[1] Meskipun
menggunakan pemaknaan yang berbeda dikalangan intelektual Indonesia dalam
memandang civil society, namun tetap sejalan dengan semangat substansi
yang ditawarkannya, yakni menguatkan peran masyarakat terhadap negara. [2]
Konon, wacana civil society
di tanah air adalah upaya kalangan intelektual Indonesia yang disebarkan
sebagai diskursus akademik. Berawal dari Arief Budiman bersama Sarjana
Australia di Monash University dalam suatu konferensi “State and Civil Society
in Contemporery Indonesia” pada 25-27
Nopember 1988, yang kemudian hasilnya
dibukukan dan dipersuntimg sendiri oleh Arief Budiman dalam State and Civil
Society in Indonesia yang dinilai sebagai karya pertama membahas civil
society di indonesia.[3]
Sejak permulaan di atas,
istilah civil society menjadi wacana akademik masyarakat Indonesia yang
direspon melalui diskusi-diskusi, seminar hingga penerbitan. Mulai dari oleh
LP3ES dan CESDA melalui seminar “Mencari Konsep dan Keberadaan Civil Society di
Indonesia” pada 20 September 1994. Kemudian di Kupang, NTT dalam seminar
“Dimensi Kepemimpinan dan Masyarakat Kewargaan: Menuju Abad XXI” pada 24-25
Januari 1995 yang menerjemahkannya menjadi “Masyarakat warga” atau “Masyarakat
Kewargaan”. Dan, Istilah ini pun direspon kembali dalam Qolloqium yang
mengangkat “Masyarakat Warga” oleh Lembaga Etika Atmajaya, Universitas Katolik
Atmajaya pada 10 April 1997. Hingga meluas diberbagai kota, terutama oleh
beberapa lembaga yang konon disuplay oleh lembaga penyandang dana internasional
--salah satunya The Asia Foundation, oleh LSAF dan Lakspendam NU yang banyak
menyelenggarakan sosialisasi gagasan civil society di Indonesia.[4]
Yang menarik adalah
munculnya pemaknaan civil society dalam istilah “Masyarakat Madani” yang dimunculkan oleh
mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim dalam suatu Simposium
Nasional dalam rangka Festval Istiqlal di Jakarta, pada 26 September 1995, yang
kemudian dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid.[5]
Pergulatan intelektual selanjutnya adalah karya AS Hikam dalam disertasinya
“The State, Grass-roots Polititics and Civil Society: A Study of Social
Movements under Indonesian New Order (1989-1994)” pada tahun 1995 pada
University of Hawaii dan dalam bukunya berjudul Demokrasi dan Civil Society yang kian menyebar luas dibaca publik dalam
bentuk buku yang diterbitkan oleh LP3ES. Karenanya, gagasan “Masyarakat Madani”
dan “Civil Society” yang masing-masing dieksplorasikan oleh Nurcholish Madjid
dan AS Hikam dinilai memiliki refleksi tinggi dalam kajian civil society di
Indonesia. Tanpa bermaksud meminimalkan peran tokoh-tokoh lainnya—juga muncul
sosok intelektual yang turut mengembangkan wacana civil society
tersebut, selain yang telah disebut di atas –semisal Dawam Rahardjo, M. Ryaas
Rasyid, Taufik Abdullah, Franz Magnis Suseno, dan lain sebagainya.
Akar-akar Civil Society di Indonesia
Nampak sulit bagi penulis
dalam mengkaji literatur ilmiah mengenai asal-usul civil society di
Indonesia tanpa meminjam literatur Hikam. Dalam catatannya terungkap bahwa
kelembagaan civil society kelahirannya merupakan akibat dari proses
transformasi modernitas yang kemudian menghasilkan struktur sosial baru yang
berbeda dari tradisi masyarakat sebelumnya. Transformasi yang di‘impor’
kolonial Belanda setidaknya merubah pola ekonomi yang dipaksakan dalam
bentuknya yang kapitalistik, turut mendorong laju masyarakat industrialisasi,
urbanisasi, dan mengenal pendidikan modern. Dan, hal tersebut menjadi
katalisator tumbuhnya institusi-institusi sosial modern di awal abad 20 sebagai
persemaian civil society.[6]
Hal yang sama juga diungkap Dawam Rahardjo bahwa beberapa organisasi besar yang
berdiri di zaman kolonial, yang hingga kini masih tetap eksis seperti
Muhammadiyah, Taman Siswa, NU. Bahkan, organisasi pergerakan nasional sejak
Budi Utomo, Syarekat Dagang Islam (SDI), hingga berbagai organisasi yang lahir
pada zaman Jepang merupakan organisasi civil society yang lahir sebelum
negara RI terbentuk.[7]
Karenanya, Dawam berupaya
mengungkap Indonesia sebenarnya memiliki tradisi civil society yang
sudah berkembang sejak abad ke-20. Tentu dengan kesadaran bahwa tradisi
tersebut merupakan keharusan menjadi kesadaran sejarah nasional, sebab
Kehadiran negara RI adalah hasil perjuangan panjang civil society, yang
konsekuensinya akan mempersepsikan negara adalah institusi yang lahir dan
dibentuk oleh masyarakat.[8]
Dengan mengutip pendapat
Adam B. Seligman dalam karyanya The Idea of Civil Society (1992), Dawam
berpandangan bahwa sebagaimana tradisi kawasan Eropa Timur –pasca keruntuhan
Sosialisme (dan juga di Timur Tengah) mengalami transformasi baru menyusun
konstruksi negara baru yang melibatkan kekuatan warga sebagai entitas kolektif
yang bebas dari penguasaan negara-- dan dari titik inilah bangunan civil
society amat berbeda dengan tradisi yang di Eropa Barat dan Amerika Utara
yang sejak awal menempatkan negara sebagai sesuatu yang sekunder, sedang
masyarakat sesuatu yang primer dan otonom. Transformasi radikal di kawasan
Eropa Timur berupaya membangun kembali
peran masyarakatnya terhadap pembentukkan kelembagaan negara. Konon, untuk
Indonesia, dinilai Dawam, persepsi civil society lebih mirip dengan yang
terjadi di Eropa Timur yang memandang negara sebagai sesuatu yang primer sedang
masyarakat adalah yang sekunder. Dan, kini negara berupaya membentuk suatu
masyarakat baru yang berbeda dari sebelumnya.[9]
Perdebatan konsepsi civil society dalam bangunan negara Indonesia Merdeka: Pemusatan Negara Model Soepomo
Sebagaimana diungkap di
atas, bahwa dalam lintasan sejarahnya, Indonesia sebaga negara terbentuk
didahului oleh peran organisasi civil society dalam kancah pergerakan sosial
politik menghadapi kekuatan negara koloni. Meskipun pergerakan politik yang
cukup mengemuka pada kala itu memperlihatkan aspirasi perjuangan melahirkan
negara sendiri sebagai alternatif dari negara kolonial. Negara dipandang
sebagai insitusi bagi kehidupan baru
masyarakat Indonesia. Sehingga negara dipandang sebagai institusi yang
ideal.
Organisasi civil society
pada masa kolonial Belanda tumbuh dari kesadaran untuk berhimpun secara
sukarela (voluntary associations) dengan berbeda latar belakang
coraknya, baik budaya, politik, ekonomi dan keagamaan, banyak dipelopori kaum
cendikiawan. Karenanya, ketika negara berada pada proses pembentukkan – mulai
dari penyusunan hingga pengisian struktur kekuasaan—banyak melibatkan kaum
cendikia yang awalnya terlibat sebagai pelopor civil society. Mobilisasi
vertikal menuju kekuasaan negara juga tampak pada pembentukan partai-partai
pada pasca Maklumat X sebagai jalan menuju arena negara. Sehingga kelembagaan
civil society—meskipun lebih dulu lahir—berada pada posisi yang sekunder,
sebaliknya negara dipandang pada persoalan yang paling primer. Di sinilah letak
terjadi idealisasi terhadap negara oleh elit-cendikia.
Dalam konteks di atas, oleh
Dawam, dapat dilihat terdapatnya dua aliran pemikiran mengenai negara (state)
dan masyarakat (society), terutama sejak awal pembahasan rancangan Dasar
Negara dan Konstitusi sejak akhir Mei-Juni 1945. Pertama, kubu Soepomo
dan Soekarno yang berdiri dengan paham integralistiknya.[10]
Kedua, Kubu Hatta dan Yamin mengenai konsepsi Hak-hak Asasi Manusia
(HAM).[11]
Paham integralistik memandang negara
sebagai kesatuan organis dari rakyat dan pemimpinnya, serta menolak paham
individualisme yang merupakan bagian liberalisme secara luas. Konsepsi ini oleh
Soepomo juga berasal dari konsepsi Hegel tentang peran negara sebagai peran
penengah atau perantara yang memenuhi kepentingan universal dari
individu-individu civil society yang lebih memenuhi keinginan sempitnya
dan cenderung kepada konflik. Dalam gambaran Hegel, negara adalah perwujudan
kebaikan, atau perwujudan yang ideal, dibanding civil society yang
memproduksi konflik. Bahkan konsepsi integralisme yang meniscayakan agama
merupakan nilai yang secara internal bagian dari negara sebagaimana konsepsi
integralisme Muller. Meskipun juga secara rasio, Soepomo lebih tertarik pada
nilai tradisional non mistik dalam hukum adat Indonesia lama, terutama konsepsi
kesatuan manusia dan Tuhan (manunggaling kawula gusti).
Bagaimana dengan golongan Islam?
Dawam mencatat bahwa gerakan Islam pada waktu terjadinya perdebatan tentang
konsep negara, tampaknya belum siap dengan gagasan ilmiah dengan dukungan
teoritis. Meski ada suara-suara sumbang tentang “negara Islam”, kenyataan
historisnya bahwa pemimpin Islam dalam BPUPKI akhirnya menerima konsepsi
integralistik atau negara persatuan dan menerima Pancasila.[12]
Dalam bahasan lebih lanjut, Dawan
menilai, aspirasi civil society dimasa perjuangan kemerdekaan kian
melemah dibandingkan menguatnya aspirasi kepada negara ideal. Namun, bukan
berarti ketiadaan civil society, tetapi justru cita-cita masyarakat
dikuatkan oleh organisasi Muhammadiyah dan NU yang menghendaki pembentukan “masyarakat”
dan bukannya “negara”, misalnya Muhammadiyah menghendaki masyarakat unggul (khairul
ummah) atau masyarakat pertengahan(ummat al wasathan). Hal yang sama
juga dilakukan oleh organisasi sosial budaya seperti Taman Siswa, dan
organisasi kedaerahan lainnya.[13]
[1] Setidaknya hal ini juga terungkap dalam pemaparan tokoh muda, Ahmad
Baso dalam tulisannya Islam, Civil Society, Ideologi Masyarakat Madani :
Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Wacana Islam Indonesia (Bandung Pustaka
Hidayah dan Lakspendam-NU, 1999).
[2] Istilah civil society
di Indonesia mendapat banyak respon yang interpretatif dilihat dari
banyaknya pengertian civil society itu ke dalam berbagai istilah, antara
lain, masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat
sipil, masyarakat beradab atau berbudaya. Di antara berbagai istilah itu,
istilah masyarakat madani setidaknya menempati posisi yang cukup populer.
[3] Pernyataan ini setidaknya dapat dilihat dalam karya penelitian dari
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, at. All
di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-IAIN Jakarta, yang
dibukukannya dengan judul Islam & Civil Society, Pandangan Muslim
Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan PPIM IAIN
Jakarta, 2002), hlm.78-79. Dalam keterangannya, Arief Budiman diundang
kapasitasnya sebagai George Hick Visiting Fellow pada Centre Southeast Asian
Studies, Monash Universty.
[4] Disarikan dari Hendro Prasetyo, Ali Munhanif at. All., ibid.
[5] Meskipun tegasnya istilah
“Masyarakat Madani” ini berasal dari Prof. Naquib Al-Attas dari
Institute for Islamic Thought and Civilization (ISTAC), sebuah lembaga yang
disponsori oleh Anwar Ibrahim sendiri.
[6] Lihat dalam M.
AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES,1996), hlm. 3-4
[7] M. Dawam
Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial
(Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 171.
[8] Ibid.
[9] Ibid, lihat lebih detilnya pada hlm. 157-159.
[10] Meskipun oleh Dawam, patut diakui Soekarno tidak pernah membicarakan
istilah paham integralistik, namun Soekarno dengan gagasan negara berdasar
persatuannya sejalan dengan paham Soepomo. Lihat pada ibid, hlm. 160.
[11] Hal senada, juga menurut Dawam, meski Hatta meragukan integritas
politik dan intelektual Yamin, namun keduanya turut memberikan kontribusi
pentingnya negara mengadosi gagasan hak asasi sebagaimana yang ada dalam negara
liberal, walaupun juga Hatta amat menolak individualisme dan liberalisme. Ibid.
[12] Ibid, hlm. 218-219.
[13] Lihat pada ibid, hlm.163. Di sisi lain, Dawam juga menilai lemahnya
civil society juga kemugkinan terjadi karena masa kemerdekaan tersebut belum
terbentuknya masyarakat borjuis di perkotaan, tetapi perekonomian masih agraris
dan pedesaan yang umumnya kota-kota di Jawa maupun di luar Jawa adalah
agropolitan yang berbasis pertanian, belum berkembangnya masyarakat madani atau
masyarakat perkotaan.
Kamis, 01 November 2012
2. DENAH < MEMBUAT AS RUMAH >
Sekarang kita mulai membuat gambar garis As Rumah.
1. Aktifkan layer As Rumah
Klik gambar ini untuk liat animasi
2. Aktifkan ORTHO
3. Klik icon Line, klik sembarang titik lalu arahkan ke arah kanan (kita gunakan ORTHO TRACKING) ketikkan angka 300 lalu enter, dan seterusnya, selengkapnya lihat pada list dibawah ini.
3. DENAH RUMAH < MEMBUAT DIMENSI >
Dimension atau ukuran adalah informasi panjang, lebar, tinggi, atau nilai sudut dari gambar yang kita buat.
1. Matikan layer lain kecuali layer As Rumah kemudian aktifkan layer Dimensi,
2. Dari menu pilih Dimension lalu klik Style…
3. muncul jendela Dimension Style Manager, kemudian klik tombol Modify…
4. muncul jendela Modify Dimension Style: Standard
5. klik tab Text => tukar tinggi huruf menjadi 20 (Text height:) => dst tukar angka-angka lain dengan nilai 20 (lihat animasi dibawah ini) => klik tombol Ok => klik tombol Close
(pemberian semua nilai dengan angka 20 adalah sebuah penyederhanaan bagi tingkat pemula)
6.dari menu pilih Dimension => Linear => klik titik ujung ruangan => klik titik ujung lainnya => geser mouse => klik kiri.
7. dari menu pilih Dimension => Continue => klik titik lainnya => dst => akhiri dengan Enter 2x
8. lanjutkan dengan sisi lainnya
4. DENAH RUMAH < MEMBUAT TEKS >
Teks diperlukan untuk menambahkan keterangan gambar.
1. aktifkan layer TEKS
2. klik icon Multiline Text, klik di dua titik untuk buat bidang penulisan teks,
3.Kemudian pada bidang pengetikkan, tukar jenis huruf dari ‘Txt” menjadi (mis) “Verdana“, tukar ukuran font dari “0.200″ menjadi “25″, lalu ketik “Ruang Keluarga“, akhiri dengan ENTER